Di negeri yang sudah terbiasa dengan akal-akalan, sebuah rapat dalam rangka persiapan peringatan 17-an mendadak jadi “panggung pertunjukan”. Titik lokasi (Tiklok) yang terkesan sederhana: kantor Camat Pagar Gunung, Lahat, Sumatera Selatan. Namun tamu yang datang pagi itu ternyata bukanlah grup drum band ataupun pasukan paskibraka. Mereka datang dari kejaksaan — lengkap dengan daftar nama dan surat tugas.
Dan taraaaaa...
Yang diciduk bukan satu atau dua orang. Namun dua puluh kepala desa. Plus
satu camat. Namanya Elsye Hartuti, SSTP, MM.
Alumni STPDN atau sekarang dikenal dengan IPDN. Jabatan masih
seumur jagung. Aura farming pemimpin muda. Tapi apalah artinya sebuah gelar dan
golden badge kalau akhirnya jatuh di tangan sosok yang kotor?
Dana Desa dan Setoran 7 Juta yang Terasa ‘Resmi’
Modusnya
klasik. Rp7 juta per desa, katanya. Untuk koordinasi. Guna “pengamanan”.
Demi “kelancaran”. Semuanya dalam tanda kutip besar.
Kepala
desa katanya “ikut forum”. Camat katanya dalam rangka “membina”. Forum APDESI katanya
“hanya sekedar menfasilitasi”.
Namun
ketika tas disita dan laptop tak bisa login, semua mendadak “lupa ingatan”.
Yang biasanya pamer foto selfie di Facebook dan Instagram, kini jadi headline OTT
di Kanal Berita.
Yang
biasanya sibuk buat baliho dengan tagline “Transparansi Anggaran”, ternyata lupa
mengarsipkan bukti transfer tunai.
STPDN Mengajarkan Kepemimpinan, Tapi Tidak Bisa Menghalau “Godaan”
Elsye
Hartuti bukanlah sosok sembarangan. Ia dilantik Januari 2024. Baru setahun menjabat.
Tapi ternyata jabatan hanya secepat siklus APBD.
Dari apel di pagi hari ke BAP di siang hari.
Dari mengatur apel desa ke mengenakan rompi tahanan jaksa.
Sungguh,
birokrasi di negeri ini terlalu mudah disusupi. Ketika uang yang lewat tak pernah
dikawal hati nurani. Jabatan yang dulunya menjadi impian siswa IPDN, kini jadi headline
ironi:
“Camat Ditangkap OTT, Bersama 20 Kades, Soal Dana Desa.”
**Catatan Akhir:
Kalau
Semua beralibi 'Koordinasi', Siapa yang Sebenarnya Bekerja untuk Negeri?**
Tak
usah terlalu kaget. OTT semacam ini bukanlah yang pertama. Dan sayangnya, mungkin
bukan juga yang terakhir.
Karena
sistem di Negeri ini membiarkan “forum koordinasi” menjadi tempat menghimpun pundi-pundi
kantong sendiri.
Karena budaya “asal aman bareng-bareng” tetap dianggap taktik dan strategi,
dan karena terlalu banyak pejabat yang takut kehilangan jabatan, tapi tidak takut
kehilangan integritas dan nurani.
Semoga
generasi muda birokrasi hari ini dan esok lebih terpanggil untuk bekerja
sepenuh hati, bukan bermain peran sebagai manajer proyek siluman “babi”.
Karena seperti kata netizen:
“Korupsi itu tak pernah sendirian. Tapi yang bertanggung
jawab? Selalu ditanggung sendiri.”
Post a Comment for "“Forum APDESI, Camat STPDN, dan Dana Desa 7 Juta”: Kisah Sejuta Proyek dengan Seribu Alasan"