![]() |
Pixabay.com/RoNaLd519 |
Dulu, anak-anak bercita-cita jadi guru, dokter, bahkan presiden. Tapi sekarang ternyata ada yang ingin "meniti karier" bukan lewat jalur meritokrasi, tapi lewat teknologi... dan koneksi.
Kenalin, Jurist Tan. Anak muda cemerlang, alumnus Harvard Kennedy School, mantan
stafsus Mendikbudristek Nadiem Makarim. Feed-nya mungkin penuh konferensi,
pidato, dan jargon perubahan. Namun kini, namanya ada di papan lain—Daftar
Pencarian Orang Kejaksaan Agung.
Ya, Gaes. Jurist Tan kini merupakan seorang buron. Bukan karena mencuri
kode program atau membobol server, melainkan karena diduga ikut mengatur "skenario
pengadaan" Chromebook senilai Rp 9,9 triliun. Luar Biasa....
Kronologi Pengadaan atau Persekongkolan?
Bermula sejak 2019. Bahkan sebelum Nadiem duduk di kursi menteri, grup
WhatsApp “Mas Menteri Core Team” sudah aktif bermusyawarah. Tentang apa?
Tentang sistem operasi Chromebook dan digitalisasi pendidikan.
Jurist Tan terindikasi
menjadi dalang awal arah kebijakan. 6 Mei 2020, ketika rapat daring,
Nadiem—ditemani Jurist—secara langsung mengarahkan agar Chrome OS
digunakan. Padahal, sistem ini sebelumnya tak pernah digaungkan dalam kajian
Kemendikbudristek.
Rapat ini tidak hanya diskusi biasa. Ini seperti skenario film: ide
digulirkan, regulasi disahkan, vendor ditunjuk, dan dana digelontorkan.
Tiga Kali Dipanggil, Tiga Kali Menghilang
Saat Kejaksaan mulai menyelidiki jejak, Jurist Tan dipanggil sebagai
saksi. Tiga kali. Namun yang datang hanya berita: dia sedang berada di
Australia. Asumsinya mengajar, atau mungkin "mengamankan diri".
Tak kunjung datang, akhirnya statusnya naik tingkat: tersangka dan
buronan internasional. Red notice siap dikirim, dan Indonesia kini dalam
mode “wait”: akankah Harvard mengajarkan adab, atau sekadar strategi exit?
Dari Harvard ke Hukum
Lho, apa mungkin hanya sekedar "mendampingi menteri" sudah
cukup punya kuasa dalam menentukan merek laptop se-Indonesia? Ini bukan startup,
Bung. Ini negara.
Tapi bisa jadi di era disrupsi, hukum pun bisa "dioptimasi".
Chromebook yang dibeli Kemendikbudristek akhirnya tak lagi sesuai spesifikasi.
Beberapa bahkan tak lagi berfungsi. Dan masyarakat? Cuma dapat dongeng, bukan
fasilitas.
Netizen: dari Kagum ke Geram
Sosok Jurist pernah dielu-elukan: muda, smart, global
minded. Tapi kini feed-nya hilang ditelan bumi, diganti dengan jejak
Interpol. Bila dahulu dia berbicara soal masa depan pendidikan, kini justru jadi
studi kasus penelitian: bagaimana satu klik bisa menguras Anggaran.
Dan Akhirnya, Kita Bertanya:
Beginikah cara mereka mencintai negeri indonesia ini?
Dengan Zoom meeting, tender fiktif, dan laptop tak bisa login?
Catatan Akhir
Jurist Tan tentu
bukan “the only one”. Tapi kisahnya akan jadi pengingat: gelar luar
negeri, jabatan strategis, dan koneksi para elite tak serta merta jadi jaminan integritas.
Semoga anak muda Indonesia lebih tergoda mengejar karya dari pada
"peran" sebagai pengatur proyek negara. Karena seperti kata netizen:
"Feed Instagram bisa dihapus, tapi feed KPK? Abadi di dokumen
penyidikan."